Kata pepatah tak ada gading yang tak retak, tidak ada satupun yang sempurna. Tentunya, kecuali Allah yang Mahasempurna.
Memang demikianlah setiap orang mesti pernah berbuat salah tanpa kecuali, baik orang biasa atau para nabi sekalipun. Hal ini dijelaskan Rasulullah,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ الخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap bani Adam melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya yang salah adalah yang bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Hadits ini dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ Al-Shoghir, no. 4391).
Sampai-sampai Rasulullah bersabda,
لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“Seandainya seluruh hamba tidak berbuat dosa (sama sekali), tentulah Allah menciptakan makhluk lain yang berbuat dosa, kemudian Allah mengampuni mereka dan Ia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Al-Haakim dan dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Al-Shahihah, no. 917).
Oleh karena itu, kita perlu solusi tepat untuk selamat.
Solusinya
Solusinya hanya satu, yaitu dengan bertaubat yang sungguh-sungguh dan memenuhi syaratnya. Sebab, taubat menjadi salah satu sebab pengampunan Allah.
Syarat Taubat
Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yaitu:
1. Islam, tidak sah taubat dari dosa dan kemaksiatan kecuali dari seorang muslim, sebab taubatnya orang kafir adalah masuk Islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 18).
2. Ikhlas. Tidak sah taubat seseorang kecuali dengan ikhlas dengan cara menujukan taubatnya tersebut semata mengharap wajah Allah, ampunan dan penghapusan dosanya. Rasulullah bersabda,
إٍِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَ ابْتَغَي بِهِ وَجْهَ اللهِ
“Sesungguhnya, Allah tidak menerima satu amalan, kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajah-Nya.” (HR, Al-Nasaa’i dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’, no. 1856). Sehingga, seorang yang bertaubat atau meninggalkan perbuatan dosa karena bakhil atas hartanya atau takut dicela orang atau tidak mampu melakukannya tidak dikatakan bertaubat secara syar’i menurut kesepakatan para ulama. Oleh karena itu, kata taubat dalam al-Quran mendapat tambahan kata ‘kepada Allah’, seperti firman Allah,
إِن تَتُوبَآ إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan).” (QS. at-Tahriim: 4).
3. Mengakui dosanya. Tidak sah taubat kecuali setelah mengetahui, mengakui dan memohon keselamatan dari akibat jelek dosa yang ia lakukan, sebagaimana disampaikan Rasulullah kepada ‘Aisyah dalam kisah Ifku,
أَمَّا بَعْدُ يَا عَائِشَةُ فَإِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي عَنْكِ كَذَا وَكَذَا فَإِنْ كُنْتِ بَرِيئَةً فَسَيُبَرِّئُكِ اللَّهُ وَإِنْ كُنْتِ أَلْمَمْتِ بِذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرِي اللَّهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ فَإِنَّ الْعَبْدَ إِذَا اعْتَرَفَ بِذَنْبِهِ ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ
“Amma ba’du, wahai ‘Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu bagini dan begitu. Apabila kamu berlepas (dari berita tersebut), maka Allah akan membersihkanmu dan jika kamu berbuat dosa tersebut, maka beristighfarlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena seorang hamba bila mengakui dosanya, kemudian bertaubat kepada Allah niscaya Allah akan menerima taubatnya.” (HR. Al-Bukhari).
4. Menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Penyesalan memberikan tekad, kemauan dan pengetahuan kepada pelakunya bahwa kemaksiatan yang dilakukannya tersebut akan menjadi penghalang dari Rabb-nya, lalu ia bersegera mencari keselamatan dan tidak ada jalan keselamatan dari adzab Allah kecuali berlindung kepada-Nya, sehingga muncullah taubat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak terwujud taubat kecuali dari penyesalan, sebab tidak menyesali perbuatannya adalah dalil keridhaan terhadap kemaksiatan tersebut, seperti disabdakan Rasulullah,
النَّدَمُ تَوْبَةٌ
“Penyesalam adalah taubat.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghir, no. 6678).
5. Berlepas dan meninggalkan perbuatan dosa tersebut apabila kemaksiatannya adalah pelanggaran larangan Allah dan bila kemaksiatannya berupa meninggalkan kewajiban, maka cara meninggalkan perbuatan dosanya adalah dengan melaksanakannya. Ini termasuk syarat terpenting taubat. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (QS. Ali Imran: 135).
Al-Fudhail bin Iyaadh menyatakan istighfar tanpa meninggalkan kemaksiatan adalah taubat para pendusta (Fathul Bari, 11/99).
6. Berazam dan bertekad tidak akan mengulanginya di masa yang akan datang.
7. Taubat dilakukan pada masa diterimanya taubat. Apa bila bertaubat pada masa ditolaknya seluruh taubat manusia, maka tidak berguna taubatnya. Masa tertolaknya taubat ini di tinjau dari dua sisi:
a. Dari pelaku itu sendiri, maka waktu taubatnya sebelum kematian. Apabila bertaubat setelah sakaratul maut, maka taubatnya tidak diterima. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 18).
Hal inipun disampaikan Rasulullah dalam sabdanya,
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْد مَا لَمْ يُغَرغِرْ
“Sesungguhnya, Allah menerima taubat hamba-Nya selama belum sakaratul maut.” (HR. Al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dan dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghir, no. 1899). Oleh karena itu, Allah tidak menerima taubat Fir’aun ketika tenggelam, seperti dikisahkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’ Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini, Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS. Yunus: 90-92).
b. Dari manusia secara umum. Rasulullah menyatakan,
الْهِجْرَةُ لاَ تَنْقَطِعُ حَتَّى تَنْقَطِعَ الْتَوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ الْتَوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Hijrah tidak terputus sampai terputusnya taubat dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat.” (Diriwayatkan Abu Daud, no. 2479 dan Ahmad dalam Musnad (3/99) dan dishahihkan dalam Shahih Al-Jami’, no. 7469).
Dan sabda beliau,
إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.
“Sesungguhnya, Allah Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759).
Apabila matahari telah terbit dari barat, maka taubat seorang hamba tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Rabb-mu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah,’Tunggulah olehmu sesungguhnya kamipun menunggu(pula).’” (QS. Al-An’aam: 158).
8. Khusus yang berhubungan dengan orang lain, maka ada tambahan berlepas dari hak saudaranya, apabila itu berupa harta atau sejenisnya, maka mengembalikannya kepadanya dan bila berupa hukuman menuduh (zina), maka memudahkan hukuman atau memohon maaf darinya dan bila berupa ghibah, maka memohon dihalalkan dari ghibah tersebut.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Adapun bila dosa tersebut antara kamu dengan manusia, apabila berupa harta, harus menunaikannya kepada pemiliknya dan tidak diterima taubtanya kecuali dengan menunaikannya. Contohnya kamu mencuri harta dari seseorang lalu kamu bertaubat dari hal itu, maka kamu harus menyerahkan hasil curian tersebut kepada pemiliknya. Juga contoh lain, kamu mangkir dari hak seseorang, seperti kamu punya tanggungan utang lalu mangkir darinya, kemudian kamu bertaubat, maka kamu harus pergi kepada orang yang bersangkutan dan memberikan pengakuan dihadapannya sehingga ia mengambil haknya. Apabila orang tersebut telah meninggal dunia, maka kamu berikan kepada ahli warisnya. Apabila tidak tahu atau ia menghilang darimu dan kamu tidak mengetahui keberadaannya, maka bersedekahlah dengan harta tersebut atas namanya agar bebas dari (kewajiban) tersebut dan Allahlah yang mengetahui dan menyampaikannya kepadanya. Apabila kemaksiatan yang kamu lakukan terhadap orang lain berupa pemukulan atau sejenisnya, maka datangilah ia dan mudahkanlah ia untuk membalas memukul kamu seperti kamu memukulnya. Apa bila yang dipukul punggung, maka punggung yang dipukul dan bila kepala atau bagian tubuh lainnya, maka hendaklah ia membalasnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah (yang artinya), “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. Asy-Syuura: 40). Dan firman-Nya (yang artinya), “Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS. Al-Baqarah: 194).
Apabila berupa perkataan (menyakitinya dengan perkataan), seperti kamu mencela, menjelek-jeleknya dan mencacinya dihadapan orang banyak, maka kamu harus mendatanginya dan meminta maaf darinya dengan apa saja yang telah kamu berdua sepakati, sampai-sampai seandainya ia tidak memaafkan kamu kecuali dengan sejumlah uang, maka berilah.
Sedang yang keempat adalah apabila hak orang lain tersebut berupa ghibah, yaitu kamu pernah membicarakannya tanpa sepengetahuannya dan kamu menjelek-jelekkannya dihadapan orang banyak ketika ia tidak ada. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan ia harus mendatanginya dengan menyatakan, “Wahai fulan saya pernah merumpi (meng-ghibah-i) kamu dihadapan orang, maka saya mohon kamu memaafkan saya dan menghalalkannya.” Sebagian ulama menyatakan tidak menemuinya, namun harus diperinci permasalahannya. Apabila orang tersebut telah mengetahui perbuatan ghibah tersebut, maka harus menemuinya dan minta dimaafkan. Namun bila tidak mengetahuinya, maka jangan berangkat menemuinya namun cukup memintakan ampunan untuknya dan menyampaikan kebaikan-kebaikannya di majelis-majelis yang kamu pernah gunakan dalam meng-ghibah-nya, karena kebaikan-kebaikan menghapus kejelekan. Inilah pendapat yang rajih (Syarhu Riyadh Ash-Shalihin, 1/77).
Sedangkan Syeikh Salim bin ‘Id Al-Hilali memberikan syarat, bila tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar lagi. Beliau berkata, “Apabila dosa itu berupa ghibah, maka ia meminta dihalalkan (dimaafkan) selama tidak mebnimbulkan mafsadat lain akibat dari permintaan maaf itu sendiri. Apabila menimbulkan maka yang wajib baginya adalah mencukupkan dengan mendoakan kebaikan untuknya.” (Al-Taubat Al-Nashuh, hal 30).
Mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.PengusahaMuslim.com